Music

Sunday 4 December 2016

SYI’AH ZAIHIDIYAH, SABA’IYAH DAN ISNA’ ASYARIAH ; SEJARAH PERTUMBUHAN, PARA IMAM, AJARAN DAN PENGARUHNYA DI INDONESIA

BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang munculnya Syi’ah
Kelainan cara pandang dan orientasi adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Kedua-duanya adalah sebab utama berkembangnya berbagai macam kelompok. Tragedi Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib adalah bentuk awal dari perbedaan pendapat yang ada dalam dinamika kehidupan manusia.
Bahkan dalam satu kelompok yang cenderung mempunyai ideologi yang sama, tak lepas dari perbedaan pendapat dari individu-individu yang ada di dalamnya. Begitu juga dengan Islam, Meski sama-sama berpegang teguh pada Alquran dan Hadits, dengan mudah kita temui perbedaan yang melingkupi tubuh umat muslim. Ada golongan Khawarij, Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, Syi’ah, dan lain sebagainya. Perbedaan tersebut dapat terlihat ketika golongan Syi’ah mengimani Aqidah Bada’ (mampu melihat Tuhan) seperti dalam firman Allah Swt. Q.S. Al-Qiyamah : 22-23, Dan wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah mereka melihat.” juga pada hadits disebutkan “kami pernah duduk bersama nabi Muhammad kemudia beliau melihat bulan purnama pada malam empat belas, maka beliau bersabda “kalian akan melihat Tuhan kalian dengan mata kepala, sebagaimana kalian melihat bulan ini dan tidak bersusah-susah dalam melihatnya. H.R. Bukhari dan Muslim dari Jarir bin Abdullah Al Bajali[1]
Berawal dari wafatnya Nabi Muhammad saw yang dalam tiga hari belum juga dikuburkan, disebabkan oleh para sahabat yang masih bimbang tentang pengganti Nabi Muhammad saw, maka ditetapkanlah khalifah (pengganti) yaitu orang yang paling dekat dan dipercaya oleh Nabi Muhammad saw yaitu Abu Bakar As-Siddiq. Walaupun terlihat janggal ketika kepentingan politik dibawa dan diutamakan ketimbang persoalan agama. Setelah itu, perbedaan visi politik khalifah kedua (Umar bin Khattab) dengan khalifah ketiga (Usman bin Affan) membentuk persoalan baru dikalangan kaum muslimin ketika itu. Hingga puncaknya terjadi pembunuhan khalifah Usman bin Affan yang pembunuhnya tidak dihukum mati, namun diangkat menjadi gubernur Mesir dan memberikan kesan tidak baik di hati para kaum muslimin. Kemudian, meyinggung cerita Muawiyah dan Ali yang sangat fenomenal dikala itu, perihal perebutan kekuasaan dalam tubuh Islam masih terlihat kontras. Lantas terjadilah perang shiffin selama sepuluh hari dan hasilnya Muawiyah terlihat kalah, dengan kelicikan politik kekuasaannya, Muawiyah menginginkan permintaan damai kepada Ali melalui proposal perundingan damai (Tahkim). Kesepakatan telah dicapai hingga momen pengumuman hasil perundingan dilaksanakan, namun disaat kubu Muawiyah menyampaikan hasilnya, ternyata berbeda sekali dengan hasil kesepakatan yang telah ditentukan, bahwa Ali menyatakan telah menyerahkan kekuasaan terhadap Muawiyah. Sehingga dari rentetan kejadian tersebut melahirkan beberapa aliran kalam yang hingga hari ini masih tumbuh subur di Indonesia yang diantaranya adalah Syi’ah.
B.       Pengenalan Syi’ah
Syi’ah merupakan sekte dengan jumlah penganut terbesar kedua dalam agama Islam, setelah Sunni. Sekitar sembilan puluh persen umat Muslim sedunia merupakan penganut Sunni, dan sepuluh persen penganut Syi'ah.[2] “Syi'ah” adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah “Syi`ah `Ali” yang berarti “pengikut Ali”, yang berkenaan dengan turunnya Q.S. Al-Bayyinah ayat yang berbunyi “khair al-bariyyah”, saat turunnya ayat itu Nabi Muhammad bersabda, “Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung – (ya 'Ali anta wa syi'atuka hum al-faizun".[3] Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Menurut keyakinan Syi'ah, Ali berkedudukan sebagai khalifah dan Imam melalui wasiat Nabi Muhammad saw. [4] Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Ahlus Sunnah menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan. Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini. Dalam Syi'ah, ada Ushulud-din (perkara pokok dalam agama) dan Furu'ud-din (perkara cabang dalam agama). Syi'ah memiliki lima perkara pokok, yaitu:
a.       Tauhid, bahwa Tuhan adalah Maha Esa.
b.      Al-‘Adl, bahwa Tuhan adalah Maha Adil.
c.       An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia.
d.      Al-Imamah, bahwa Syi’ah meyakini adanya Imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
e.       Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya Hari Kebangkitan.
Dalam perkara ke-nabi-an, Syi'ah berkeyakinan bahwa:
a.       Jumlah nabi dan rasul Tuhan adalah 124.000.
b.      Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad.
c.       Nabi Muhammad adalah suci dari segala aib dan tanpa cacat sedikitpun. Dia adalah nabi yang paling utama dari seluruh nabi yang pernah diutus Tuhan.
d.      Ahlul-Bait Nabi Muhammad, yaitu Imam Ali, Sayyidah Fatimah, Imam Hasan, Imam Husain dan 9 Imam dari keturunan Imam Husain adalah manusia-manusia suci sebagaimana Nabi Muhammad.
e.       Al-Qur'an adalah mukjizat kekal Nabi Muhammad.
C.      Aliran-aliran Syi’ah
Golongan atau aliran Syi'ah dalam sejarahnya terpecah-pecah dalam masalah Imamiyyah. Sekte terbesar adalah Dua Belas Imam, diikuti oleh Zaidiyyah dan Ismailiyyah. Ketiga kelompok terbesar itu mengikuti garis yang berbeda Imamiyyah, yakni: Dua belas Imam. Disebut juga Imamiyyah atau Itsna ‘Asyariyyah (Dua Belas Imam) karena mereka percaya bahwa yang berhak memimpin kaum Muslim hanyalah para Imam dari Ahlul-Bait, dan mereka meyakini adanya dua belas Imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syi’ah. Urutan Imamnya adalah :
1.      Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2.      Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3.      Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4.      Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5.      Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6.      Jafar bin Muhammad (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7.      Musa bin Ja'far (745799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8.      Ali bin Musa (765818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9.      Muhammad bin Ali (810835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
10.  Ali bin Muhammad (827868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11.  Hasan bin Ali (846874), juga dikenal dengan Hasan al-Askari
12.  Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
13.  Disebut juga Syi'ah Lima Imam karena merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan Imamnya adalah:
14.  Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
15.  Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
16.  Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
17.  Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
18.  Zaid bin Ali (658740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
19.  Disebut juga Syi'ah Tujuh Imam karena mereka meyakini tujuh Imam, dan mereka percaya bahwa Imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan Imamnya adalah:
20.  Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
21.  Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
22.  Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
23.  Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
24.  Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
25.  Ja'far bin Muhammad bin Ali (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
26.  Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.
Pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan pengikut terbesar Syi’ah. Meski berangkat dari ideologi yang sama, yakni mendukung dan mengikuti Ali bin Abi Thalib, sekaligus mendahulukan dan lebih mengutamakan dia dari pada para sahabat yang lain. Syi’ah dalam perkembangannya terbagi menjadi beberapa kelompok. Diantaranya Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah atau Imamiyah, Zaidiyah dan Syi’ah Ismailiyah. Perpecahan kelompok dalam tubuh Syi’ah tak lepas dari perbedaan pendapat yang melingkupi para penganutnya. Disini, penulis akan menjelaskan tentang golongan Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah dan Ismailiyah beserta sejarah perkembangannya, sekaligus beberapa ajaran-ajarannya.





1.    Syi’ah Imamiyah
a.         Sejarah Syi’ah Imamiyah
Perlu diketahui bahwa kebanyakan kelompok Syi’ah Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’) tersiar di segala tempat, dan kelompok Imamiyah adalah salah satu dari padanya. Kelompok Imamiyah telah pecah menjadi 39 kelompok, yaitu: Hasaniyah, Nafsiyah, Hakamiyah, Salimiyah, Syaitaniyah, Zarariyah, Budaiyah, Mufawidhah, Yunusiyah, Baqiriyah, Hadhiriyah, Nuwusiyah, Ammariyah, Barikyah, Bathiniyah, Qaramitah, Syamithiyah, Maimuniyah, Khalfiyah, Burqu’iyah, Janabiyah, Sab’iyah, Mahdawiyah, Afthakhiyah, Mufaddhaliyah, Mamturiyah, Musawiyah, Raj’iyah, Ishakiyah, Ahmadiyah, dan Itsna ‘Asyariyyah.[5]
Al-Itsna ‘Asyariyyah adalah kelompok yang berpendapat bahwa Musa al-Kazhim memang telah meninggal. Kelompok ini juga disebut al-Qath’iyyah. Menurut mereka, Imamah berpindah (dari Musa al-Kazhim) kepada putranya, ‘Ali Ridha, yang terbunuh di Thus. Kemudian ‘Ali Ridha digantikan oleh Muhammad at-Taqi al-Jawad, yang meninggal dan dikuburkan di pemakaman di Baghdad. Sesudah itu al-Jawad digantikan oleh ‘Ali ibn Muhammad an-Naqi yang terbunuh di Qum. An-Naqi selanjutnya digantikan oleh Hasan al-Askari az-Zaki sebagai Imam dan ketika dia meninggal digantikan oleh Muhammad al-Qaim al-Muntadhar. Menurut mereka, setiap orang yang pernah melihat al-Muntadhar dia akan memperoleh kegembiraan: Muhammad al-Qaim al-Muntadhar menjadi Imam kedua belas, karena itulah kelompok ini dinamakan Imam dua belas.[6]
Pada zaman sekarang, Sekte Itsna ‘Asyariyyah merupakan sekte terbesar Syi’ah. Sekte ini menyakini bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan dua belas Imam sebagai penerus risalahnya. Diantara nama Imam-Imam menurut golongan al-Imamiyah adalah: 1) Al-Murtadha (‘Ali), 2)Al-Mujtaba (al-Hasan), 3)Asy-Syahid (al-Husain), 4)Al-Sajjad (Zain al-‘Abidin), 5) Al-Baqir, 6) Ash-Shadiq, 7) Al-Kazhim, 8) Ar-Ridha, 9) At-Taqi, 10) An-Naqi, 11) Az-Zaki dan 12) Al-Hujjah al-Qaim al-Muntadhar.[7]
Sebagai kelompok Syi’ah terbesar, Syi’ah Imamiyah (Itsna ‘Asyriyyah) memiliki nama-nama atau julukan-julukan populer yang beragam. Nama-nama yang populer antara lain adalah: al-Qath’iyah, ar-Rafidhah, al-Ja’fariyah, dan al-Khashshah.
b.         Konsep Imamah Syi’ah Imamiyah
Kelompok Syi’ah percaya bahwa Imamah adalah satu dari prinsip-prinsip agama. Imamah adalah rukun iman yang pokok; Imam seseorang tidak sah kecuali ia percaya bahwa Imamah adalah suatu jabatan ilahiyah seperti kenabian. Maka Imamah bagi mereka adalah seperti akidah tauhid (La ilaha illallah) dan akidah risalah (Muhammad Rasulullah), begitu juga aqidatul qiyamah, yaitu seperti iman kepada Tuhan yang satu dan tunggal, dan iman bahwa Muhammad Rasulullah serta iman kepada hari akhir.[8]
Mereka berpendapat bahwa para Imam diketahui bukan melalui sifat-sifat mereka, melainkan penunjukan orangnya secara langsung.‘Ali menjadi Imam melalui penunjukan Nabi Muhammad, kemudian dia menunjuk penggantinya berdasarkan wasiat dari Nabi Muhammad, dan mereka dinamakan al-Awshiya’ (para penerima wasiat). Para penganut aliran Imamiyah telah sepakat bahwa keimaman ‘Ali telah ditetapkan berdasarkan nash yang pasti dan tegas dari Nabi Muhammad dengan menunjuk langsung dirinya, bukan dengan penyebutan sifat orangnya.[9]
Menurut Syi’ah dua belas, jabatan Imamah berakhir pada Imam Mahdi al-Muntadhar. Sesudah itu, tidak ada Imam-Imam lagi sampai hari kiamat. Imam Mahdi diyakini sedang ghaib. Selama keghaiban Imam Mahdi, jabatan kepemimpinan umat, baik dalam urusan keagamaan maupun urusan kemasyarakatan, dilimpahkan kepada fuqaha’ (ahli hukum Islam) atau mujtahid (ahli agama Islam yang telah mencapai tingkat tingkat ijtihad mutlak). Fuqaha’ atau Mujtahid ini harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, ahli dalam bidang agama Islam. Kedua, adil, takwa, dan konsisten dalam menjalankan aturan-aturan agama. Ketiga, kafa’ah, yaitu memiliki kemampuan memimpin dengan baik.Mereka yang menggantikan jabatan Imam Mahdi itu disebut na’ib al-Imam atau wakil Imam.[10]
c.         Ajaran Syi’ah Imamah
1).    Rukun Iman
Rukun iman adalah teori Syi’ah dan dalil-dalil yang mereka pakai untuk membuktikan Imamah. Dalam kitab Usul al-Kafi disebutkan dalam suatu riwayat, sebagai berikut: “Mengetahui Imam-Imam serta percaya kepada mereka adalah syarat iman”. Dalam riwayat lain, mereka menghilangkan puasa dan haji. Kulaini meriwayatkan dari Ja’far: “Rukun Islam tiga: shalat, zakat, dan wilayat, semuanya harus disamakan”. Kemudian mereka menghilangkan empat sehingga tinggal satu rukun saja yaitu wilayat.Abu Abdullah berkata, “Wilayat adalah wilayatullah yang tidak mengutus Nabi kecuali dengan wilayat itu”. Mereka malah menambahkan: “Semua Nabi Allah telah mengakui wilayat ‘Ali, dan barangsiapa mengingkarinya, Tuhan akan menyiksanya, dan menfitnahnya dengan penyakit dan musibah”.
Sebagai sekte Syi’ah terbesar, kelompok Syi’ah Dua Belas sebenarnya bukan golongan Imamiyah atau golongan yang hanya memusatkan perhatian pada persoalan Imamah semata, tetapi juga merupakan golongan yang terlibat aktif dalam pemikiran-pemikiran keIslaman lainnya, seperti teologi, fiqih, dan filsafat.
Dalam teologi, sekte ini dekat dengan golongan Muktazilah, akan tetapi dalam persoalan pokok-pokok agama mereka berbeda. Sementara dalam bidang fikih, mereka tidak terikat pada satu madzhab manapun.[11]
d.         Imam Ghaib (Imam keduabelas) serta Kepercayaan Syi’ah tentang Imam Mahdi
Menurut akidah Syi’ah, Imam Mahdi dilahirkan pada tahun 255-256 H. Menurut keyakinan mereka, ia masih hidup dalam suatu gua di suatu tempat. Ada yang mengatakan, ia bersembunyi di ruang bawah tanah yang berada di rumah ayahnya di Samarra dan tidak kembali setelah itu. Mereka berbeda pendapat tentang usia Muhammad al-Mahdi ketika bersembunyi. Ada yang mengatakan usianya empat tahun, dan ada yang mengatakan delapan tahun. Perbedaan pendapat juga terjadi tentang kemampuannya memerintah dalam usia itu. Ada yang menyakini bahwa pada usia ini dia sudah mengetahui segala sesuatu yang perlu diketahui oleh seorang Imam, sedangkan yang lain mengatakan bahwa yang memerintah adalah wakilnya dari kalangan ulama madzhabnya. Pendapat terakhir inilah yang dianut oleh penganut Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah dewasa ini.
Menurut riwayat Syi’ah, anak Hasan al-Askari yang berumur lima tahun, membawa benda-benda tersebut dan bersembunyi di suatu gua di Surra Man Raa, Irak. Maka menurut mereka, anaknya tersebut menjadi Imam akhir zaman dan dengan begitu selesailah rentetan para Imam. Oleh karena di dunia harus ada Imam, dan kalau tidak ada Imam dunia akan hancur, Maka Imam akhir zaman harus tetap hidup sampai hari kiamat. Ia akan tetap ghaib dan bersembunyi, dan jika sudah datang waktunya untuk muncul ia akan keluar dari gua untuk memerintah seluruh dunia.
2.    Syi’ah Zaidiyah
a.         Sejarah Syi’ah Zaidiyah
Syi’ah Zaidiyah muncul sepeninggal Ali Zain al Abidin, Imam ke empat dalam Syi’ah Imamiyah. Nama kelompok ini diambil dari nama pemimpinnya, yaitu Zaid bin Ali Zain al Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Syi’ah Zaidiyah muncul pada tahun 94 H ketika Ali Zain al Abidin wafat. Saat itu kelompok Syi’ah terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok pengikut Zaid bin Ali dan kelompok pengikut Muhammad al Baqir bin Ali, saudara Zaid bin Ali sendiri. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhamad Al-Baqir, putra Zainal yang lain, sebagai Imam kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah, nama Zaidiyah diambil. Syi’ah Zaidiyah merupakan Syi’ah yang moderat. Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni.[12]
Pada abad kedua, perselisihan Muhammad al-Baqir dengan saudaranya Zaid bin Ali yaitu mempersoalkan permasalahan pengakuan terhadap Imamah dan kepemimpinan Abu Bakar serta Umar bin Khattab.[13] Muhammad al-Baqir mengklaim diri sebagai Imam berdasarkan nas dan wasiat dari Imam sebelumnya. Menurutnya seorang Imam tidak cukup hanya sebuah klaim semata, namun harus berani memproklamirkan diri secara terbuka dan berjuang merebut tahta kekhalifahan dari Bani Umayyah dengan kekuatan pasukan setelah peristiwa tragis, Karbala. Kemudian Zaid bin Ali mengangkat dirinya sebagai Imam di Kuffah. Setelah mengadakan persiapan beberapa waktu lamanya lalu ia bergerak melakukan perlawanan secara terbuka.[14]
Pada fase berikutnya, akibat kelemahan aliran Zaidiyah dan serangan dari aliran-aliran Syi’ah lainnya, dasar-dasar pemikiran aliran ini menjadi goyah atau kalah dan mati. Karena itu orang-orang yang membawa nama aliran Zaidiyah tidak membenarkan pengangkatan Imam yang mafdhul (bukan orang terbaik), sehingga mereka dianggap termasuk aliran yang ekstrim. Mereka adalah yang menolak dan menentang kekhalifahan atau keimanan Abu Bakar As-Siddiq dan Umar Bin Khattab, dan dengan begitu hilanglah ciri khas dari aliran Zaidiyah generasi pertama.
b.         Konsep Imamah Syi’ah Zaidiyah
Menurut Syi’ah Zaidiyah, seorang Imam harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1).    Ia merupakan keturunan ahlul bait, baik melalui garis Hasan maupun Husain. Hal ini mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan dan nas kepemimpinan. Kaum Zaidiyah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang Imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad.[15]
2).    Memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau menyerang. Atas dasar ini, mereka menolak Mahdiisme yang merupakan salah satu ciri sekte Syi’ah lainnya, baik yang ghaib maupun yang masih di bawah umur. Bagi mereka pemimpin yang menegakkan kebenaran dan keadilan adalah Mahdi.[16]
3).    Memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan melalui ide dan karya dalam bidang keagamaan. Mereka menolak kemaksuman iman, bahkan mengembangkan doktrin Imamat al mafdul, artinya seseorang dapat dipilih menjadi Imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan pada saat yang sama ada yang lebih baik.[17]
Walaupun Syi’ah Zaidiyah mengakui bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat Nabi yang paling utama (afdal) yang menyatakan paling berhak menjadi Imam, namun mereka mengakui Imamah Abu Bakar As-Siddiq dan Umar bin Khatab. Inilah yang mereka sebut dengan Imam al mafdul.[18]
c.         Ajaran Syi’ah Zaidiyah
1).      Bidang Fiqih
Secara umum hampir tidak ada perbedaan antara Syi’ah Zaidiyah dengan Ahlussnnah wal Jama'ah, hanya ada perbedaan sedikit dalam masalah ibadah furu’. Syi’ah Zaidiyah cenderung menunjuk simbol dan amalan Syi’ah pada umumnya. Misalnya dalam hal adzan mereka memberi selingan ungkapan Hayya ‘ala khair al-amal, takbir sebanyak lima kali dalam shalat jenazah, menolak sahnya mengusap kaus kaki (maskh al-khuffaini), menolak Imam shalat yang tidak shaleh, tidak sedakap dalam shalat, shalat hari raya tidak mesti berjamaah, shalat tarawih berjamaah dikategorikan bid'ah, rukun wudhu ada sepuluhdan menolak binatang yang disembelih oleh orang non-muslim. Mereka juga menolak adanya nikah mut’ah yang merupakan ciri khas Syi’ah.
2).      Bidang Teologi
Syi’ah Zaidiyah dalam bidang teologi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan aliran Muktazilah. Hal ini tidak mengherankan karena Zaid bin Ali sendiri adalah murid dari Wasil bin Atha’, seorang pendiri aliran Muktazilah.[19]
Teologi Muktazilah menyebutkan di antara ciri orang yang beriman ialah harusamar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebenaran dan menjauhi kepada kemunkaran). Maka dari itu seorang Imam haruslah memproklamirkan diri kepada masyarakat dengan cara memberantas kebathilan dan mengajak/menunjukkan kepada sesuatu kebenaran. Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya.
3.    Syi’ah Ismailiyah
a.       Sejarah Syi’ah Ismailiyah
Ismailiyah merupakan mazhab dengan jumlah penganut kedua terbesar dalam Syi'ah, setelah mazhab Itsna ‘Asyariyyah. Sebutan Ismailiyah diperoleh pengikut mazhab ini karena penerimaan mereka ke atas keimaman Isma'il bin Ja'far sebagai pewaris dari Ja'far ash-Shadiq. Ismailiyah menerima keenam Imam Syi'ah terdahulu.[20]
Terbentuknya kelompok Syi’ah Ismailiyah lebih dikarenakan perbedaan penetapan penerus Imam Ja’far Shadiq. Pada tahun 148 H/765 M,[21] di kota Kufah sebagian orang Syi’ah memisahkan dirinya. Pemisahan ini terkait erat dengan perjuangan melawan dinasti Abbasiyah. Ide dibalik perjuangan tersebut adalah keyakinan bahwa pemerintahan yang berdasarkan keadilan hanya dapat dibenarkan bila dilakukan di belakang kepemimpinan Ismail bin Ja’far (anak laki tertua Imam Ja’far Shadiq).
Pada tahun 297 H pemerintahan pertama yang berhasil didirikan bernama Fathimiyyun. Keberhasilan ini di bawah kepemimpinan Imam Ismailiyah, Ubaidillah Al-Mahdi. Pemerintahan Ismailiyah di bangun di Afrika Utara. Pada tahun itu dapat disebut sebagai masa keemasan Syi’ah Ismailiyah. Dan Pada tahun 487 H/1094 M terjadi krisis terbesar dialami oleh Syi’ah Ismailiyah.Krisis ini terkait erat dengan kepemimpinan setelah Imam Ismailiyah. Krisis ini menyebabkan terbaginya Syi’ah Ismailiyah menjadi dua bagian; Musta’lawiyah dan Nizariyah. Perselisihan yang terjadi menyebabkan melemahnya Syi’ah Ismailiyah di hadapan Ahli Sunah.
Musta’lawiyah diakui secara resmi oleh pemerintah pusat di Afrika Utara. Namun Musta’lawiyah perlahan-lahan juga terbagi-bagi. Pada akhirnya, tahun 567 H ketika Dinasti Fathimiyah runtuh, Musta’lawiyah dengan sendirinya tidak lagi memiliki kekuasaan. Di masa keruntuhan Dinasti Fathimiyah kelompok Ismailiyah Thibi, yang sebagian besar Musta’lawiyah, menetap di Yaman.Perlahan-lahan ajaran mereka menyebar ke India. Di India dikenal sebagai Buhrah.
Sementara itu, Nizariyah salah satu kelompok dari Ismailiyah memiliki pengikut terbesar.Pada abad pertengahan mereka banyak bertempat tinggal di Iran. Pertama mereka menempati daerah Khuzestan kemudian berpindah-pindah ke Utara, pusat Iran, Khurasan dan sampai di daerah Ma bina An-Nahrain, akhirnya mereka tersebar di daerah Rei dan Naishabur. Penyeru mutlak mereka seperti, Abu Hatim Ar-Razi dan Muhammad bin Ahmad Nasafi memimpin Da’i Muthlaq di daerah Kurasan. Berkat usaha penyeru mutlak, yang rata-rata adalah orang Iran, pemikiran Neo Platonisme dikombinasikan dengan teologi Ismailiyah. Usaha mereka menghasilkan aliran filsafat Ismailiyah Neo Platonisme. Pemikir-pemikir yang memiliki saham terbentuknya pemikiran ini seperti; Abu Ya’qub Sijstani, Hamid Ad-Din Kermani, Nasir Khasru dan lain-lain. Pergolakan pemikiran yang terjadi ini pada akhirnya, dengan kepemimpinan Hassan Sabah, memunculkan gerakan Ismailiyah Nizariyah.
Negara Nizariyah hanya dapat bertahan selama 166 tahun. Masa 166 tahun ini dikenal dengan masa Alamut. Setelah Hassan Sabah, ada tujuh orang yang berkuasa di Alamut. Di masa-masa mereka ini kekuasaan mereka cukup kuat. Kekuatan mereka pada akhirnya runtuh akibat serangan bangsa Mongol. Runtuhnya kerajaan Nizariyah terjadi pada tahun 654 H/1256 M. Setelah runtuhnya kerajaan Nizariyah, orang-orang Ismailiyah kemudian melakukan eksodus ke beberapa negara antara lain India, Afghanistan dan lain-lain. Penyebaran mereka di beberapa negara dilakukan dengan bentuk kehidupan seorang sufi. Imam Nizariyah sebagai mursyid mereka. Mereka sempat berkumpul di daerah Anjedan kota Qom dan akhirnya menuju India. Di India mereka dikenal dengan sebutan Khojah. Khojah adalah kelompok Syi’ah Ismailiyah yang terbesar. Saat ini, pengikut Syi’ah Ismailiyah hidup bertebaran di Kerman, Tajikistan, Khurasan, Afghanistan dan lain-lain.
b.      Konsep Imamah Syi’ah Ismailiyah
Para pengikut Syi’ah Ismailiyah berpendapat bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar. Tujuh pilar tersebut adalah iman, taharah, sholat, zakat, puasa, haji dan jihad. Berkaitan dengan pilar atau rukun yang pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’aman memerincinya sebagai berikut: iman kepada Allah, tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, iman kepada surga, iman kepada neraka, iman kepada hari kebangkitan, iman kepada hari pengadilan, iman kepada para nabi dan rasul, iman kepada Imam, percaya, mengetahui dan membenarkan Imam zaman.
Syarat-syarat seorang Imam dalam pandangan Syi’ah Ismailiyah sebagai berikut:
1).    Imam harus berasal dari keturunan Ali melalui perkawinannya
dengan Fatimah yang kemudian dikenal dengan Ahlul Bait.
2).    Imam harus berdasarkan penunjukan atau nas. Berdasarkan hadith
yang diriwayatkan bukhori dan muslim bahwa antara rasul dan Ali ialah seperti Musa dan Harun.
3).    Keimaman jatuh pada anak tertua. Syi’ah Ismailiyah menggariskan
bahwa seorang Imam memperoleh keimanan dengan jalan wirathah, jadi, ayahnya yang menjadi Imam menunjuk anaknya yang paling tua.
4).    Imam harus maksum (terjaga dari kesalahan dan dosa).
Sebagaimana sekte Syi’ah lainnya, syiaah ismailiyah menggariskan bahwa seorang Imam harus terjaga dari salah dan dosa. Bahkan lebih dari itu, mereka berpendapat bahwa sungguhpun Imam berbuat salah, maka perbuatannya itu tidak salah.
5).    Imam harus dijabat oleh seorang yang paling baik. Berbeda dengan
zaidiyah, Syi’ah ismailiyah dan Syi’ah Imamiyah tidak membolehkan adanya Imam mafdhul.

c.       Ajaran Syi’ah Ismailiyah
Pada dasarnya sama dengan kelompok Syi’ah lainnya. Perbedaaannya terletak pada konsep kema’suman Imam, adanya aspek batin pada setiap yang lahir dan penolakannya terhadap Al-Mahdi Al-Muntadzar. Ada satu sekte dalam Ismailiyah yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri Imam. Oleh karena itu, Imam harus disembah. Menurut Ismailiyah, alquran memiliki makna batin selain makna lahir. Dikatakan bahwa segi-segi lahir atau tersurat dari syariat itu diperuntukkan bagi orang awam yang kecerdasannya terbatas dan tidak mempunyai kesempurnaan rohani. Sedangkan yang memiliki makna batin dan dapat menakwili adalah para Imam. Dengan prinsip takwil, Ismailiyah menakwilkan menurut hawa nafsu mereka sendiri, misalnya ayat al-qur’an tentang puasa, mereka takwili dengan menahan diri dari menyiarkan rahasia-rahasia Imam. Dan ayat al-qur’an tentang haji ditakwilkan dengan mengunjungi Imam. Bahkan diantara mereka ada yang menggugurkan ibadah. Mereka itu adalah yang telah mengenal Imam dan telah mengetahui takwil melalui Imam. Mengenai sifat Allah, sebagaimana halnya mu’tazilah, Ismailiyah meniadakan sifat dari dzat Allah. Menurut mereka penetapan sifat merupakan penyerupaan dengan makhluk.




BAB 2
PEMBAHASAN

A.      SYI’AH DAN POLITIK MODERN
Pertumbuhan politik Syi’ah yang berlangsung di Iran dapat berhubungan dengan demokrasi. Iran adalah republik yang pertama kali berhasil memadukan lembaga-lembaga politik modern dengan konsep negara agama yang dikenal dengan sebutan  Wilayah Al-Faqih (kepemimpinan seorang faqih). Revolusi Islam di Iran tahun 1979 berhasil menggulingkan penguasa diktator Syah Reza Pahlevi, dan kemudian membangun sistem negara Islam dalam bentuk republik, menggantikan sistem kerajaan yang dianut sebelumnya. Ada sebagian orang yang memandang fenomena Iran ini dengan tatapan kagum dan optimis. Namun ada pula yang memandang dengan tatapan sinis dan pesimis. Kelompok kedua mungkin dapat diwakili oleh Bernard Lewis, yang mengatakan bahwa konsep wilayah al-faqih yang menyatukan agama dan negara, tidak berbeda dengan lembaga kepausan, yang telah menjadi penyakit Kristen di masa lalu. Sama halnya, Ali Gheissari dan Vali Nasr, juga menyebut bahwa meskipun lahir dari revolusi sosial, konstruksi teokratik Republik Islam Iran telah menciptakan rezim otoriter pragmatis. Dan seyogyanya, sebuah negara seharusnya mengadopsi sistem politik demokrasi terkendali, yang sejalan dengan ideologi Islam revolusioner. Sementara itu, solusi permasalahan negara terletak pada demokrasi konstitusional, yang pernah dianut pasca Revolusi Konstitusi 1906, ketika ulama hanya berfungsi sebagai pengawas legislasi. Sementara itu Ayatullah Khomeini menganut konsep demokrasi agama, yang kemudian dikenal sebagai konsep Wilayah Al-Faqih (kepemimpinan faqih), yang akhirnya menjadi basis utama sistem demokrasi di Iran. metode politik Syi’ah menganut konsep Imamah. Konsep ini menegaskan bahwa kepemimpinan umat adalah urusan Tuhan. Syi’ah berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan pengganti kepemimpinannya setelah beliau wafat. Mereka berdalil pada beberapa hadits, di antaranya adalah hadits Al-Ghadir, yang berisi pernyataan lugas Nabi Muhammad SAW bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penerus kepemimpinannya. Konsep wilayah Al-Faqih pada dasarnya adalah kelanjutan dari konsep Imamah Syi’ah. Selain itu, agama memang tidak terpisah dari politik dengan segenap problematikanya. Sebab, pemisahan agama dari politik serta tuntutan  agar ulama tidak turut campur dalam urusan sosial-politik merupakan slogan yang dipropagandakan oleh para kaum sekuler, yang dengannya mereka dapat mendominasi  dan menjarah semua sumber daya masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa segala bentuk ibadah yang dipraktikkan dalam Islam selalu berkaitan dengan politik dan penyiapan masyarakat. Menurut penulis, strategi Islam dalam politik yang tujuannya adalah Allah SWT, atau kesempurnaan manusia. Dengan strategi ini, manusia akan memperoleh segala kebaikan sejati, baik secara maknawi maupun materi. Berdasarkan hal tersebut, pemerintahan Islam hanya dapat dipimpin oleh seorang faqih, yaitu orang yang memahami Islam secara mendalam, termasuk di dalamnya hukum-hukum syariat. Secara praktis, Republik Islam Iran sebenarnya telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya yang terkait dengan kebebasan politik (adanya kontestasi/kompetisi dan partisipasi dalam pemilu) dan kebebasan sipil (yang meliputi kebebasan intelektual, perlindungan hak minoritas, pemberdayaan wanita, dan kebijakan luar negeri). Terlepas dari kritik-kritik yang ada, Republik Islam Iran tampaknya berhasil menawarkan sebuah konsep pemerintahan  alternatif dalam percaturan politik dunia. Keunikannya terletak pada metodenya yang mengkombinasikan bukan hanya agama dan negara, melainkan juga teokrasi dan demokrasi. Perbedaan mendasar antara demokrasi agama dengan demokrasi barat adalah terletak pada prinsip legislasi. Demokrasi barat berkeyakinan bahwa undang-undang harus dibuat oleh manusia. Sementara itu, dalam demokrasi agama undang-undang harus berasal dari Tuhan, melalui utusan-Nya, sehingga setiap undang-undang yang dihasilkan harus berada dalam koridor hukum Ilahi. Perbedaan lainnya terletak pada tujuan. Demokrasi barat yang berkarakter materialistik memiliki tujuan-tujuan yang terbatas pada dimensi lahiriah manusia, seperti kesejahteraan dan kemakmuran. Sementara itu, demokrasi agama lebih menekankan dimensi mental dan spiritual manusia, sehingga politik dalam demokrasi agama bermakna upaya untuk mengilhami manusia menuju Allah Swt.
B.       PENGARUH DAN PEMIKIRANNYA DI INDONESIA
Aliran Syi’ah menggunakan strategi yang terfokus pada penguasaan tiga asas utama yang ada pada setiap negara termasuk Indonesia, yaitu militer, ilmu pengetahuan (ulama dan intelektual), serta ekonomi (pemilik modal). Banyal hal yang mengundang pertanyaan tentang Syi’ah. Salah satu contoh mendasar adalah bagaimana “Seluruh agama (Islam) disederhanakan menjadi semata-mata isu Ali-Fatimah-Hasan-Husain”.
Beberapa ahli dan pengamat sejarah meyakini Syi’ah adalah ajaran Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia. Hal itu dibuktikan adanya banyak tradisi keagamaan di Indonesia yang mempunyai dasar pengaruh Syi’ah. Namun beberapa tokoh agama Islam menolak klaim tersebut. Mereka beranggapan bahwa kesimpulan para pengamat sejarah itu mendasarkan sumber lisan dan tulisan yang belum melalui verifikasi dan diuji kesahihannya.
Terlepas dari perdebatan tersebut, rentetan pengaruh Syi’ah dalam tradisi-tradisi keagamaan di Indonesia tak bisa dibantahkan. Tradisi kebudayaan dan keagamaan yang dijalankan di kalangan muslim Indonesia banyak diantaranya merupakan pengaruh ajaran Syi’ah. Sebagai contoh, tradisi arak-arakan Hayok Tabui di Pariaman, Sumatera Barat yang digelar setiap Muharram kental dengan pengaruh Syi’ahnya. Tradisi itu sebagai peringatan tragedi berdarah yang menimpa cucu Nabi Muhammad saw, Sayyidina Husain. Pariaman dulu merupakan kota dagang dan kota pelabuhan di pesisir barat Sumatera. Kota Pariaman lebih dulu ada ketimbang kota Padang. Jadi, zaman dulu ulama Syi’ah datang dari Persia, Gujarat (India) menumpang kapal-kapal dagang untuk datang dan berdakwah ke Pariaman.
Selanjutnya dalam penyebaran Syi’ah, yang sangat signifikan adalah setelah pulangnya para mahasiswa dari kota Qom, Iran. Sebab sejak revolusi terjadi, Iran banyak memberi beasiswa ke pemuda-pemudi Indonesia, jumlahnya ribuan, dan sekarang mereka sudah kembali dan menjadi agen penyebaran Syi’ah yang cukup gencar di Indonesia. Data dari Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, tahun ini saja ada 200 orang yang diberangkatkan ke Iran. Jumlah mahasiswa Indonesia di Iran diperkirakan 7000 orang. Jalaludin Rahmat sebagai tokoh Syi’ah Indonesia, mengklaim ada 3 juta Syi’ah. Tapi menurut data intelejen (BIN), orang Syi’ah di Indonesia hanya ada 300 ribu saja. Awalnya, Jalaludin Rahmat aktif di Muhammadiyah, Bandung. Tapi sejak kepulangannya dari studi di luar negeri, oleh Muhammadiyah tidak diterima lagi, karena pemikirannya dianggap menjadi Liberal. Jalaludin menjadi Syi’ah sejak pulang dari seminar Islam di Srilanka, ketika itu ada 3 delegasi dari Indonesia, yaitu Endang Syaifuddin, Jalaludin Rahmat dan Haedar Bagir.
Tokoh Islam Mohammad Natsir pernah mengingatkan, “Jangan mau menerima hadiah buku-buku dari orang Iran”. Nampaknya larangan itu malah menarik. Dari 3 orang delegasi, 2 diantaranya menjadi pengikut Syi’ah dan hanya 1 orang yang tetap sunni. Yaitu Endang Syaifuddin Anshory. Infonya, disamping dihadiahi buku, dua orang itu juga “digarap” oleh propagandis Syi’ah Iran di acara seminar itu. Mohammad natsir juga pernah mengingatkan “Hati-hati, Syi’ah akan menjadi bom waktu di Indonesia”.
Alat propaganda Syi’ah yaitu dengan memakai sebutan Ahlul Bait, bukan Syi’ah. Di Indonesia ada ABI (Ahlul Bait Indonesia), organisasi keturunan Arab yang mengaku keturunan Imam Husein. Dan ada juga IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait), yang ini pengikutnya adalah keturunan non Arab. Keduanya tidak mesra hubungannya, tapi yang IJABI lebih militan dan sering berhubungan dengan Iran. Selain berkilah dengan nama Ahlul Bait, Syi’ah juga berlaku seolah toleran, padahal di Iran sendiri masjid Sunni tidak diberi hak hidup.
Di Indonesia sudah mulai tumbuh konflik, mengingat Syi’ah Imamiyah sangat agresif. Ingat kasus Sampang Madura dan penyerangan Masjid Ustadz Arifin Ilham. Majelis ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur dan juga beberapa MUI daerah lain, memfatwakan bahwa Syi’ah sesat. Syi’ah juga berlindung dengan HAM, sekarang tokoh Syi’ah Jalaludin Rahmat sudah masuk DPR-RI dari fraksi PDIP. Syi’ah sudah masuk ke Birokrasi dan TNI. Ada 200-an yayasan Syi’ah yang beroperasi di Indonesia, dan ada ribuan alumni Qom Iran yang gencar bergerilya di tanah air. Syi’ah akan menjadi Bom Waktu ditengah-tengah kita.
Oleh karena itu, di Indonesia sendiri pada masa Suryadharma Ali selaku menteri agama, telah menyatakan Syi’ah bukan Islam di gedung DPR pada 25 Januari 2012 melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama. Selain itu, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) pernah mengeluarkan surat resmi No.724/A.II.03/101997, tertanggal 14 Oktober 1997, ditandatangani Rais Am, M Ilyas Ruchiyat dan Katib KH. Drs. Dawam Anwar, yang mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar tidak tertipu oleh propaganda Syi’ah dan perlunya umat Islam Indonesia memahami perbedaan prinsip ajaran Syi’ah dengan Islam. Kemenag juga mengeluarkan surat edaran no. D/BA.01/4865/1983 tanggal 5 Desember 1983 tentang hal ihwal mengenai golongan Syi’ah, menyatakan Syi’ah tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam.” Majelis Ulama Indonesia sejak lama telah mengeluarkan fatwa penyimpangan Syi'ah dan terus mengingatkan umat muslim seperti pada Rakernas MUI 7 Maret 1984. Selain itu, MUI Pusat telah menerbitkan buku panduan mengenai paham Syi’ah pada bulan September 2013 lalu berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia”.[22]










BAB 3
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Permasalahan dan ancaman dari eksternal umat Islam telah banyak terjadi, termasuk yang paling masif adalah kristenisasi dan perang pemikiran. Adapun permasalahan dari internal umat Islam yaitu perpecahan sesama ummat muslim, perebutan kekuasaan, saling mengkafirkan hingga kesesatan memahami ajaran Islam yang terus menghunjam ke tengah-tengah kita.
Peliknya kesadaran umat Islam terhadap kesesatan Syiah, berujung pada kemudahan aliran tersebut untuk berkembangbiak dan tumbuh subur di Indonesia. Apalagi, aliran ini telah mengakar di dalam perlindungan Hukum dan konstitusi Indonesia. Syi’ah telah berjuang mati-matian untuk berperang melawan sunni, ironisnya umat Islam berjalan santai tanpa merasakan ancaman sama sekali.
B.       SARAN
Sebagai muslim yang taat, serta penganut sunni di Indonesia, kita mempunyai kewajiban untuk melindungi kaum muslimin dari ancaman Syi’ah, terlebih penolakan terhadap pemikiran, propaganda dan ajakan untuk bergabung dengan aliran tersebut.








DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Bin Muhammad “Menyingkap Kesesatan Aqidah Syi’ah” (Jaringan
Pembela Terhadap Sunnah)
Abdul Rozak,  “Ilmu Kalam”. (PT Bina Ilmu : Surabaya, 2001)
Ahmad Qusyairi Ismail, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah. (Yogyakarta: LkiS, 1993)
Ahmad Syalabi dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban  Islam(Jakarta :
Rajawali Press, 2002)
Christopher M. Blanchard,  “Islam: Sunni and Syi'ah”, (Conggressional Research
Service, 2010)
Dhiauddin,  “Teori Politik Islam”, (Jakarta :Gema Insani Press, 2001)
Fuad Mohd. Fahruddin “Syi’ah ; Suatu Pengamatan Kritikal” (Pedoman Ilmu
Jakarta : Jakarta 1992)
H.R. Gibb dan H.J. Kramres, Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden : E.J. Brill
S, 2001)
Hasan ibrahim,  “Tarikh al-Islam”, (al-Nahdloh al-Misriyah, 1976)
Ibnu Hazm, “Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal”
Imam Muhammad Abu Zahra,1993, Aliran Politik dan Akidah, (Gema Insani
Press : Jakarta, 1993)
Jalaluddin As-Suyuti, Durul Mansur
Muhammad Kamil al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syi’ah, (Jakarta: Bulan Bintang,
1989)
Muhammad Bin Abdul Karim al-Syahrastani,  Al Milal Wa An Nihal, Alih
Bahasa: Asywadie Syukur, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006)
Muhammad Abu Zahroh, Tarikhu al-Madzahib al-Islamiyah, (Kairo: Daral-
Fikral-Arabi)
Montgomery Watt, “Islamic Philosophi and Theologi” (Edinburg : University
Press, 1992)
Nourouzzaman Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perpektif Sejarah”,
(Yogyakarta: PLP2M, 1985)
O. Hashem “Syi’ah ditolak syi’ah dicari”, (Islamic Center Jakarta Al-Huda :
Jakarta, 2000)
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam”, (Bandung: Pustaka Setia, 2006)

Sumber Internet :




[1] Abdullah Bin Muhammad “Menyingkap Kesesatan Aqidah Syi’ah” (Jaringan Pembela Terhadap Sunnah), hlm.11-15
[2] Christopher M. Blanchard,  “Islam: Sunni and Syi'ah”, (Conggressional Research Service, 2010), hlm. 40
[3] Jalaluddin As-Suyuti, Durul Mansur hlm.60
[4] Ibnu Hazm, “Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal”, hlm.113
[5] Muhammad Kamil al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syi’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm.38
[6] Imam Muhammad Abu Zahra,1993, Aliran Politik dan Akidah, (Gema Insani Press : Jakarta, 1993) hlm. 45
[7] Ahmad Qusyairi Ismail, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah. (Yogyakarta: LkiS, 1993) hlm.67
[8] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam”, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm.33
[9] Dhiauddin,  “Teori Politik Islam”, (Jakarta :Gema Insani Press, 2001), hlm.112
[10] H.R. Gibb dan H.J. Kramres, Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden : E.J. Brill S, 2001), hlm.51
[11] Nourouzzaman Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perpektif Sejarah”, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hlm.79
[12] Muhammad Bin Abdul Karim al-Syahrastani,  Al Milal Wa Al Nihal, Alih Bahasa: Asywadie Syukur, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006) hlm.175
[13] Montgomery Watt,  Islamic Philosophi and Theologi, (Edinburg : University Press, 1992), hlm. 23
[14] Muhammad Abu Zahroh, Tarikhu al-Madzahib al-Islamiyah, (Kairo: Daral-Fikral-Arabi), hlm.69
[15] H.R. Gibb dan H.J. Kramres, Shorter Encyclopedia of Islam”, (Leiden : E.J. Brill S, 2001), hlm.55
[16] Fuad Mohd. Fahruddin “Syi’ah ; Suatu Pengamatan Kritikal” (Pedoman Ilmu Jakarta : Jakarta 1992),  hlm.26
[17] Montgomery Watt, “Islamic Philosophi and Theologi” (Edinburg : University Press, 1992), hlm.34
[18] O. Hashem “Syi’ah ditolak syi’ah dicari”, (Islamic Center Jakarta Al-Huda : Jakarta, 2000) hlm. 98
[19] Abdul Rozak,  “Ilmu Kalam”. (PT Bina Ilmu : Surabaya, 2001), hlm.34
[20] Hasan ibrahim,  “Tarikh al-Islam”, (al-Nahdloh al-Misriyah, 1976), hlm.110
[21] Ahmad Syalabi dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban  Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. 99

0 komentar:

Post a Comment